Jadi, gelar ANDI adalah inisiasi dari bangsawan Sulawesi Selatan sendiri untuk memperjelas strata yang semakin rumit seiring perkawinan silang kaum bangsawan dengan masyarakat umum. Sebelumnya, gelar La/We/Daeng jamak digunakan. Hingga tahun 1850an mulai digunakan gelar Baso/Besse lalu Ambo/Indo. Akhir 1880an dan awal 1900an digunakan gelar BAU dan terakhir digunakan gelar ANDI ditahun 1930an.
Tanggapan atas tulisan saudara Eko 
Rusdianto dengan judul “Asal-Usul Gelar Andi di Sulawesi Selatan” di 
http://historia.id/modern/asal-usul-gelar-andi-di-sulawesi-selatan
Pada dasarnya, kita patut mengapresiasi 
setiap tulisan, apalagi melewati proses kajian dan riset, yang bertema 
budaya. Betapa tidak, di zaman sekarang, sangat jarang orang yang mau 
memikirkan budayanya sendiri. Apalagi mengeksplorasi budayanya dalam 
bentuk tulisan.
Namun terlepas dari itu, dalam ranah 
ilmiah, dialektika pengetahuan sangatlah penting. Untuk mendukung gerak 
maju pengetahuan itu sendiri. Sehingga, “membiarkan sebuah tulisan 
budaya tanpa kritik” merupakan bentuk kemandegan pengetahuan itu 
sendiri.
Tulisan saudara Eko Rusdianto yang baru 
di upload beberapa hari lalu, saat tulisan ini dibuat telah terbaca di 
web historia sebanyak 68.173 kali. Belum lagi, web site lain yang 
mengkopi paste tulisan tersebut. Boleh dikata, tulisan ini laris manis. 
Dan tentu memberi efek. Entah positif atau negatif, setidaknya menyentak
 hati dan pikiran pembaca tentang gelar Andi. Sebuah gelar kebangsawanan
 yang jamak digunakan di Sulawesi Selatan.
Pada kesempatan ini, tanpa mengurangi 
rasa hormat kepada saudara Eko Rusdianto dan pengelola web historia, 
izinkanlah kami untuk memberi sedikit perbandingan. Maksud kami adalah 
untuk memberi perspektif lain tentang tema gelar kebangsawanan di 
Sulawesi Selatan, sehingga ada dialektika pengetahuan pada tema 
tersebut.
Kita semua paham, semua manusia (kecuali
 Adam dan Hawa), terlahir dimuka bumi dalam keadaan telanjang tak 
memiliki apa apa. Namun seiring dengan prosesnya, dari keluarga, 
membentuk rumpun keluarga, suku, dan bangsa, ada yang menjadi pemimpin, 
dan ada yang menjadi bawahan. Sehingga, suka atau tidak, muncul 
stratifikasi sosial.
Tentu maksud tulisan ini BUKAN untuk 
menghidupkan kembali budaya feodal. Tetapi di alam demokrasi ini (yang 
secara teoritik semua rakyat mendapat perlakuan sama secara hukum dan 
politik), bila politik dinasti dibolehkan, mengapa orang tidak boleh 
melestarikan budayanya ? Toh pemilik gelar juga tidak meminta dihormati 
layaknya pejabat penting. Kita juga tentu sepakat, bahwa dibalik gelar 
ada tanggung jawab. Gelar Akademik dengan stratanya, jelas harus 
menunjukkan pemilik gelar mesti berpikir ilmiah. Gelar Spiritual, 
misalnya haji/hajjah, jelas harus menunjukkan kesalehannya. Dan gelar 
kebangsawanan, juga mesti menunjukkan karakter kebangsawanannya.
Boleh jadi kita dizaman demokrasi ini 
memiliki pandangan yang egaliter. Oke, saya setuju. Tetapi, mengapa kita
 tidak memulai diranah akademis dulu. Toh strata pendidikan jelas 
membedakan S1 dengan skripsi sebagai syaratnya, S2 dan S3 dengan Tesis 
dan Desertasi sebagai syaratnya. Jika saudara Eko Rusdianto “mencolek” 
mereka yang bergelar andi dengan kalimat pertama “GELAR ANDI DI DEPAN 
NAMA ORANG SULAWESI SELATAN DI CIPTAKAN UNTUK MENANDAI KAUM BANGSAWAN 
TERPELAJAR”, lantas mengapa tidak mempersoalkan gelar Bachelor of Art 
(BA) Insinyur (Ir), Doktorandus (Drs), Doktor (DR). Bukankah itu juga 
gelar yang menjadi penanda bagi orang terpelajar. Terpelajar dalam 
artian, sekolah modern. Sekolah yang tentu saja kita pahami adalah 
warisan Belanda.
Kembali ke Sejarah
Tahun 1905, Belanda melancarkan Politik 
Pasifikasi yang artinya damai, tetapi hakikatnya adalah penaklukan. Ya, 
penaklukan jazirah selatan Sulawesi. Saat itu, tinggal Aceh dan Sulawesi
 Selatan yang belum ditaklukkan Belanda. Di tahun yang sama, berakhir 
perang Aceh yang disponsori Cut Nyak Dien. Sebelumnya, Belanda mengirim 
Snouck Horgronye ke Aceh sebagaimana F.Matthes ke Sulawesi Selatan.
Perang 1905 ini ditujukan ke dua 
kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yaitu Gowa dan Bone. Perang Gowa 
berakhir dengan meninggalnya Somba Gowa, Sultan Husain Karaeng Lembang 
Parang. Sedangkan, Perang Bone yang setelah berakhir dikenal dengan 
Rumpa’na Bone ditandai dengan gugurnya putra mahkota sekaligus panglima 
perang, Petta PonggawaE. Kemudian disusul dengan ditangkapnya Arumpone 
La Pawawoi Karaeng Sigeri di pengunungan Awo.
Dengan demikian, Belanda memaksakan 
Korte Veklaring di semua kerajaan kerajaan di Sulawesi Selatan. 
Sebelumnya, ditahun 1880an, Belanda gencar membarui Perjanjian Bongayya 
secara spesifik di tiap kerajaan Sulawesi Selatan melalui Large 
Veklaring, yaitu perjanjian panjang yang berisi hubungan spesifik 
Belanda dengan kerajaan lokal.
Seusai penandatangan Korte Veklaring, 
bukan berarti Sulawesi Selatan telah bersih dari perlawanan. Tercatat 
perlawanan I Tolo Daeng Mangassing, mantan komandan pasukan Gowa yang 
disokong oleh Ishak Manggabarani, Tumabicara Butta Gowa merangkap Arung 
Matowa Wajo. Perlawanan itu baru padam di tahun 1916. Demikian pula 
perlawanan di Bone selatan.
Meski demikian Belanda tidak benar benar
 mampu memerintah masyarakat Sulawesi Selatan. Belum lagi Perang Dunia I
 di Eropa berdampak pada kurang fokusnya Belanda mengurusi daerah 
jajahan. Nanti di tahun 1926 dan seterusnya, Belanda telah menganggap 
kondisi Sulawesi Selatan telah stabil.
Dampak Korte Veklaring
Sadar akan ketidakmampuan Pemerintah 
Kolonial Hindia Belanda untuk memimpin langsung rakyat di Sulawesi 
Selatan, maka kerajaan yang vakum didirikan kembali. Dengan catatan 
bahwa, pertama, tidak boleh melawan Belanda. Kedua, struktur dan 
administrasi kerajaan diubah. Otomatis Tupoksi pejabat adat berubah 
namun gelar jabatan tetap.
Untuk itu dicari putra mahkota, dengan 
mempertimbangkan derajat kebangsawanan, untuk mengangkat kembali raja. 
Banyak cerita tak tertulis (hanya beredar dilingkup terbatas) sehubungan
 dengan pemilihan raja ini. Yang bisa jadi (tanpa mengurangi rasa 
hormat) Almarhum Mattulada dan Mattalatta, tidak mengetahui kisah kisah 
tersebut.
Pemerintah Hindia Belanda sebelumnya mencanangkan Politik Etis, Politik balas budi terhadap negara jajahan. Untuk itu, dibangun sekolah macam Stovia, Mulo, His dan sebagainya sebagai implementasi kebijakan Educatie. Sedangkan untuk Imigratie, Belanda mengirim penduduk dari Jawa untuk membuka lahan di daerah Polman (Wonomulyo). Adapun Irigatie, Belanda membangun beberapa bendungan. Belanda juga membangun jalan poros, jembatan dan infrastruktur lainnya.
Pemerintah Kerajaan, dalam hal ini 
ZelfBestuur atau Swapraja, dibawahi langsung oleh Controleur, yang 
dikenal dengan istilah Tuan Petor(o). Struktur kerajaan disesuaikan 
dengan model pemerintahan modern, mirip dengan kabupaten saat ini. 
Dimana Somba Gowa, Datu Luwu, Arumpone, Arung Matowa Wajo, Datu Soppeng,
 setingkat dengan Bupati saat ini. Sementara pejabat Adat macam Bate 
Salapang (Gowa), Ade Pitu (Bone), Ade Seppulo Dua (Luwu), Arung Enneng 
(Wajo), menjadi kepala distrik, semacam kecamatan saat ini. Merangkap 
kepala dinas. Seperti Dinas Pekerjaan Umum (PU), Dinas Kepenjaraan, 
Dinas Pendidikan dan sebagainya.
Di masa itu, gelar Andi mulai digunakan 
oleh para Raja dan Pejabat Adatnya masing-masing, untuk membedakan 
Bangsawan elit dengan bangsawan menengah. Gelar ini, lahir dari para 
raja sendiri melalui proses dinamika yang rumit. Bila di paragraf 
pertama tulisan saudara Eko menyebut bahwa gelar Andi adalah gelar yang 
diciptakan Belanda untuk menandai bangsawan terpelajar, adalah KELIRU. Alasannya adalah :
- Tidak semua pemakai gelar ANDI digenerasi awal, adalah terpelajar versi Belanda. Malah ada yang mantan veteran perang 1905.
- Tidak semua bangsawan yang terpelajar di era Belanda bergelar ANDI
- Diparagraf ketiga dan keempat, tulisan tersebut menyebutkan bahwa menurut Ince Nurdin, Matthes lah yang pertama memberi gelar ANDI. Rasa-rasanya kalimat ini aneh. Mengingat orang Bugis Makassar tidak punya riwayat diberi gelar oleh Bangsa Asing yang nota bene penjajah. Apalagi bangga dengan gelar tersebut.
Tetapi perlu dipahami bersama, di era 
Zelfbestuur tersebut dibentuk komisi stanboom dimasing masing kerajaan. 
Hal ini dilakukan untuk “meregistrasi” bangsawan Bugis Makassar hingga 
derajat darah tertentu. Biasanya  hingga Cera 3 (berderajat 12,5%). Ada 
juga sebagian bangsawan yang tidak sempat mendaftarkan diri di komisi 
stanboom sehingga keturunannya tidak bergelar ANDI hingga hari ini. Ada 
pula yang tidak memerlukan Stanboom, karena ia berada dilingkungan 
istana.
Tujuan pemberian Stanboom ini adalah 
untuk menandai keluarga raja sampai derajat tertentu, yang akan 
dijadikan tenaga kerja paksa dalam proses pembangunan infra struktur 
tersebut. Dengan demikian, Pemerintah Kolonial Belanda, berusaha 
mencegah ketersinggungan pihak elit kerajaan (ZelfBestuur) agar tidak 
melakukan perlawanan. Memang Belanda sangat paham karakter orang 
Sulawesi Selatan, sebab itulah tugas Matthes sebagai antropolog.
Jadi, gelar ANDI adalah inisiasi dari 
bangsawan Sulawesi Selatan sendiri untuk memperjelas strata yang semakin
 rumit seiring perkawinan silang kaum bangsawan dengan masyarakat umum. 
Sebelumnya, gelar La/We/Daeng jamak digunakan. Hingga tahun 1850an mulai
 digunakan gelar Baso/Besse lalu Ambo/Indo. Akhir 1880an dan awal 1900an
 digunakan gelar BAU dan terakhir digunakan gelar ANDI ditahun 1930an.
Pada dua paragraf terakhir tulisan 
tersebut dikatakan bahwa gelar kebangsawanan adalah Daeng, Opu, Karaeng,
 Arung, Bau atau Puang. Saya ingin katakan bahwa, Arung bukanlah gelar 
kebangsawanan, tetapi kepala wilayah. Pemerintahannya disebut 
Akkarungeng. Keturunannya disebut Anakarung. Gelarnya bisa jadi 
Baso/Besse/Bau/Ambo/Indo dan sebagainya.
Sebagai penutup dari tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa
- Tidak benar, gelar ANDI adalah pemberian Belanda. Yang tepat adalah, hasil kesepakatan dari bangsawan elit Sulawesi Selatan untuk membedakan mereka dengan bangsawan rendah dan masyarakat umum.
- Bila dikatakan gelar ANDI dimulai di era pemerintahan kolonial belanda, itu benar. Sebab pemakai gelar ANDI pertama adalah bangsawan elit ditahun 1930an.
- Kalimat “Gelar Andi di depan nama orang Sulawesi Selatan diciptakan Belanda untuk menandai kaum bangsawan yang terpelajar” dapat dikatakan tidak tepat. Sebab bukan adat orang Bugis-Makassar menggunakan gelar yang dilekatkan orang asing. Tetapi orang Bugis-Makassar menggunakan gelar berdasarkan aturan adatnya sendiri. Itu yang perlu dipahami. Kalimat tersebut, terkesan provokatif. Bila gegabah memahami, opini akan tergiring pada pemahaman bahwa sebenarnya pemilik gelar ANDI adalah ANTEK BELANDA.
- Wacana gelar kebangsawanan di Sulawesi Selatan itu sudah lama diperbincangkan. Sayang, momennya muncul kembali kurang pas. Yaitu menjelang pilkada. Sungguh dikhawatirkan, andai wacana gelar kebangsawanan tersebut digiring dan digoreng ke pentas politik lokal. Lebih mengkhawatirkan lagi bila orang tidak menganggap lagi gelar seperti itu sebagai warisan budaya, tetapi lebih pada warisan penjajah yang tak penting dijaga. Semoga saja kekhawatiran itu tidak mendasar. Semoga.
- Biarlah yang abu-abu itu abu-abu, jangan katakan hitam meski ia tidak putih. Dalam arti bahwa, pernyataan Andi Mattalatta belum tentu benar, apalagi terpahami bahwa gelar Andi semata mata buatan Belanda
- Ada baiknya jika bung Eko Rusdianto menulis tentang PERLAWANAN PARA ANDI TERHADAP PENJAJAH DAN PERAN DALAM MEREBUT DAN MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN. Salam budaya, jabat erat dari saya.
Source : http://sempugi.org/jangan-sebut-abu-abu-itu-hitam-meski-ia-tak-putih/ 
 


 




0 komentar:
Posting Komentar
=================================
- Berkomentarlah Yang Sopan
- Tidak Diperkenankan Memasukan Link Aktif Pada Isi Komentar
- Berkomentarlah Sesuai Dengan Content
=================================
Terima Kasih atas Kunjungan Anda.... ^_^