Dalam budaya Sulawesi Selatan (Bugis, Makassar, Mandar dan Tana
Toraja) ada sebuah istilah atau semacam jargon yang mencerminkan
identititas serta watak orang Sulawesi Selatan, yaitu Siri’ Na Pacce. Secara lafdzhiyah Siri’ berarti : Rasa Malu (harga diri), sedangkan Pacce atau dalam bahasa Bugis disebu Pesse
yang berarti : Pedih/Pedas (Keras, Kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti
semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau
kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati).
Kata Siri’, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna
“malu”. Sedangkan Pacce (Bugis: Pesse) dapat berarti “tidak tega” atau
“kasihan” atau “iba”. Struktur Siri’ dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori, yaitu (1) Siri’ Ripakasiri’, (2) Siri’ Mappakasiri’siri’, (3) Siri’ Tappela’ Siri (Bugis: Teddeng Siri’), dan (4) Siri’ Mate Siri’.
Kemudian, guna melengkapi keempat struktur Siri’ tersebut maka Pacce atau Pesse menduduki satu tempat, sehingga membentuk suatu budaya (karakter) yang dikenal dengan sebutan Siri’ Na Pacce.
Siri’ Ripakasiri’
Adalah Siri’ yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Siri’ jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah membawa lari seorang gadis (kawin
lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun perempuan, harus
dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan (gadis yang dibawa
lari)karena telah membuat malu keluarga.
Contoh lainnya adalah kasus kekerasan, seperti penganiayaan atau
pembunuhan dimana pihak atau keluarga korban yang merasa terlanggar
harga dirinya (Siri’na) wajib untuk menegakkannya kembali,
kendati ia harus membunuh atau terbunuh. Utang darah harus dibalas
dengan darah, utang nyawa harus dibalas dengan nyawa.
Dalam keyakinan orang Bugis/Makassar bahwa orang yang mati terbunuh karena menegakkan Siri’, matinya adalah mati syahid, atau yang mereka sebut sebagai Mate Risantangi atau Mate Rigollai, yang artinya bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula. Dan, itulah sejatinya Kesatria.
Tentang ini hal ini, oleh Hakim Pidana (orang-orang Belanda) di zaman
penjajahan dahulu tidak bisa mengerti mengapa orang Bugis/Makassar
begitu bangga dan secara kesatria mengakui di depan persidangan pidana
bahwa dia telah melakukan pembunuhan berencana, meski diketahuinya bahwa
ancaman pidananya sangat berat jika dibandingkan dengan pembunuhan
biasa (pembunuhan yang tidak direncanakan sebagaimana diatur dalam pasal
338 KUHP). Secara logika, memang orang lain tidak dapat mengerti hal
tersebut, kecuali bagi mereka yang telah paham akan makna Siri’ yang sesungguhnya.
Agar dapat mengetahui tentang bagaimana penting menjaga Siri’ untuk kategori Siri’ Ripakasiri’, simaklah falsafah berikut ini. Sirikaji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siri’nu matemako kaniakkangngami angga’na olo-oloka. Artinya, hanya karena Siri’
kita masih tetap hidup (eksis), kalau sudah malu tidak ada maka hidup
ini menjadi hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada
binatang.
Siri’ Mappakasiri’siri’
Siri’ jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga siri’mu, inrengko siri’.” Artinya, kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Siri’). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka siri’mu, aja’ mumapakasiri’-siri.” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin).
Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat.
Jangan jadi pengemis, karena itu artinya membuat keluarga menjadi
malu-malu atau malu hati.
Hal yang terkait dengan Siri’ Mappakasiri’siri’ serta
hubungannya dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang
keberhasilan orang-orang Bugis dan Makassar di perantauan.
Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat siri’ sebagaimana ungkapan orang Makassar, “Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’ gulingku kualleangngangi tallanga na towaliya.”
Artinya, begitu mata terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi,
tetapkan tujuan ke mana kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik
tenggelam daripada balik haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai
cita-cita.” Atau, sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai,
sebelum tercapai pulau harapan.
Selain itu, Siri’ Mappakasiri’siri’ juga dapat mencegah
seseorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai
moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat
merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah “Mali’ siparampe, malilu sipakainga”, dan “Pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatokkong” atau “Pada idi pada elo’ sipatuo sipatottong”.
Artinya, ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa
kesusahan atau musibah maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau
seseorang cenderung terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf
maka keluarga yang lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.
Siri’ Tappela’ Siri’ (Makassar) atau Siri’ Teddeng Siri’ (Bugis)
Artinya rasa malu seseorang itu hilang “terusik” karena sesuatu hal.
Misalnya, ketika seseorang memiliki utang dan telah berjanji untuk
membayarnya maka si pihak yang berutang berusaha sekuat tenaga untuk
menepati janjinya atau membayar utangnya sebagaimana waktu yang telah
ditentukan (disepakati). Ketika sampai waktu yang telah ditentukan, jika
si berutang ternyata tidak menepati janjinya, itu artinya dia telah
mempermalukan dirinya sendiri.
Orang Bugis atau orang Makassar yang masih memegang teguh nilai-nilai Siri’, ketika berutang tidak perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih dia akan datang sendiri untuk membayarnya.
Siri’ Mate Siri’
Siri’ yang satu berhubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang yang mate siri’-nya
adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman)
sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa
malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.
Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan
masyarakat. Aroma busuk akan tercium di mana-mana. Tidak hanya di
lingkungan Istana, di Senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau
busuk akan terasa menyengat. Korupsi, kolusi dan nepotisme, jual beli
putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia lainnya, akan
senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya. Nauzubillahi min-dzalik.
Pacce (Bugis: Pesse)
Pacce atau Pesse adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut oleh masyarakat Bugis/Makassar. Passe lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya Siri’ (malu). Contoh, apabila seorang anak durhaka kepada orangtuanya (membuat malu keluarga) maka si anak yang telah membuat malu (siri’) tersebut dibuang dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun,
jika suatu saat, manakala orangtuanya mendengar, apalagi melihat
anaknya menderita dan hidup terlunta-lunta, si anak pun diambilnya
kembali. Malu dan tidak tega melihat anaknya menderita.
Punna tena siri’nu pa’niaki paccenu. Artinya meski anda
marah karena si anak telah membuat malu keluarga, lebih malulah jika
melihat anakmu menderita. Jika Anda tidak malu, bangkitkan rasa iba di
hatimu (Paccenu). Anak adalah amanah Allah, jangan engkau sia-siakan.
Pacce’ dalam pengertian harfiahnya berarti “ pedih “, dalam makna kulturalnya pacce berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu, humanisme universal. Jadi, pacce’
adalah perasaan (pernyataan) solidaritas yang terbit dari dalam kalbu
yang dpaat merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan etos (sikap
hidup) orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce’ diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam dirinya. Siri’ dan pacce’
inilah yang mengarahkan tingkah laku masyarakatnya dalam pergaulan
sehari-hari sebagai “ motor “ penggerak dalam memanifestasikan pola-pola
kebudayaan dan sistem sosialnya.
Melalui latar belakang pokok hidup siri’ na pacce’ inilah yang
menjadi pola-pola tingkah lakunya dalam berpikir, merasa, bertindak,
dan melaksanakan aktivitas dalam membangun dirinya menjadi seorang
manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia dalam masyarakat. Antara siri’ dan pacce’ saling terjalin dalam hubungan kehidupannya, saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari lainnya.
Dengan memahami makna dari siri’ dan pacce’, ada hal
positif yang dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di
mana dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan –
berlaku adil pada diri sendiri dan terhadap sesama – bagaimana hidup
dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain. Membandingkan konsep siri’ dan pacce’ini dengan pandangan keadilan Plato (428-348 SM) yang mengamati bahwa justice is but the interest of the stronger (keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat)
Nilai adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek
kehidupan dan dalam konteks hukum, nilai ini merupakan sesuatu yang
menjadi landasan atau acuan dalam penegakan hukum, nilai ini hidup dalam
suatu masyarakat dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu.
Masyarkat Bugis mempunyai falsafah hidup yang sangat dijunjungnya yaitu siri’ na pacce’.
Siri’ na pacce’ dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (siri’ na pacce’) ini sangat mempengaruhi masyakarat dalam kehidupan hukumnya.
Siri’ na pacce’ dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (siri’ na pacce’) ini sangat mempengaruhi masyakarat dalam kehidupan hukumnya.
Siri’ yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat
Bugis-Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Siri’ na Pacce (
Bahasa Makassar ) atau Siri’ na Pesse’ ( Bahasa Bugis ) adalah dua kata
yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis-Makassar dalam
mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga
apabila seseorang kehilangan Siri’nya atau De’ni gaga Siri’na, maka tak
ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang
Bugis-Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (
seperti binatang ). Petuah Bugis berkata : Siri’mi Narituo ( karena malu
kita hidup ).
Dengan adanya falsafah dan ideologi Siri’ na pacce/pesse, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain.
Konsep Siri’ na Pacce/pesse bukan hanya di kenal oleh kedua suku ini,
tetapi juga suku-suku lain yang menghuni daratan Sulawesi, seperti
Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideologi
dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinteraksi.
Siri’, adalah pandangan hidup orang Sulawesi Selatan. Secara harfiah berarti “malu”. Namun makna “Siri” sangat luas jika diterjemahkan sesederhana itu. Hal ini disebabkan, perbedaan latar belakang budaya yang membentuk kosa kata. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, (Luwu, Mandar, Toraja, Makassar dan Bugis), kata Siri’ sangat kaya makna. Siri’ dapat berarti 1)Malu, 2)Malu-malu, 3)Segan 4)Kehormatan, dan 5)Motivasi
Contoh penggunaan kata Siri dalam kalimat sebagai berikut
– Masiri’ka siruntu sappisengku (Saya malu bertemu sepupu saya)
– Masiri-siri’ka jokka bolana (Saya malu malu pergi kerumahnya)
– Dessa u mitau siruntu cama’e, masiri ma (Saya tidak takut bertemu camat, cuma segan)
– Yakkesiriseng Datue narekko engka mappigau bawang (Dijaga kehormatan Datu, bila ada yang mau berbuat sembarang)
– Masirika lesu ri tana rijajiangku salai somperekku narekko deppa u wabbatang tau (Saya malu/termotivasi pulang kenegeriku bila tidak berhasil dinegeri orang)/Nanti setelah berhasil saya mau pulang
Dari berbagai pengertian “Siri” yang paling dominan adalah kehormatan. Kehormatan harus dijaga dengan resiko apapun, bahkan nyawa taruhannya. Dalam falsafah Bugis disebut “Siri’e mi tu ri onrong lino” Kita hidup didunia hanya untuk menjaga kehormatan.
Kata Siri, selalu dipasangkan dengan Pesse (bugis) atau Pacce (makassar). Pesse secara harfiah berarti pedis. Makna sesungguhnya adalah, Ego kolektif kelompok/komunitas atau keluarga. Bila anggota keluarga/komunitas terzalimi, maka ada perasaan perih dalam hati. Perasaan itulah yang mendorong sikap “Marenreng Perru”. Secara harfiah berarti menarik usus. Tetapi makna sebenarnya adalah empati dan simpati terhadap anggota komunitas. “Marenreng Perru” biasanya dilawankan dengan “Melle perru” yang bermakna tega atau sampai hati.
Peribahasa Bugis mengatakan “Narekko de gaga sirimu, engka mua pessemu”. Maksudnya, meski engkau kehilangan kehormatan (dan tak mampu menegakkan kehormatan karena berbagai kelemahan) maka setidaknya engkau masih memiliki empati/simpati terhadap anggota komunitasmu.
source :
http://sempugi.org/siri-na-pesse/
https://imbasadi.wordpress.com/agenda/data-karya-ilmiah-bebas/unhas/makna-siri-na-pacce-dimasyarakat-bugis-makassar-friskawini/
http://sempugi.org/siri-na-pesse/
https://imbasadi.wordpress.com/agenda/data-karya-ilmiah-bebas/unhas/makna-siri-na-pacce-dimasyarakat-bugis-makassar-friskawini/
Postingan yang sangat mendidik, khususnya untuk orang bugis :)
BalasHapus