PERIHAL LEGENDA “KARANGAN” KERAJAAN BACUKIKI
Andi Oddang To Sessungriu
Manusia sesungguhnya terlahir bersama kekhilafannya. Namun salah satu
kekhilafan terbesar yang dapat dilakukan manusia di muka bumi adalah
merekayasa sejarah. Rekayasa ini dapat berbentuk pembelokan kronologi
peristiwa, pengaburan tokoh sejarah atau bahkan jika mengarang suatu
kisah mitos dan legenda yang berlandaskan imajinasi dengan mengabaikan
kesejarahan faktual. Maka “sejarah karangan” itu akan terus terbawa dan
melekat dari masa ke masa hingga berlapis generasi, jauh melampaui limit
umur dari pelaku rekayasa tersebut. Hingga pada akhirnya, generasi
mendatang mewarisi suatu keterangan yang “tidak benar” kemudian
berlanjut mewariskannya pula ke generasi pelanjutnya.
……………………………………………………………………..
……………………………………………………………………..
Uraian ini dimaksudkan sebagai tanggapan kritis terhadap sebuah
cerita rakyat menyangkut asal mula berdirinya Kerajaan Bacukiki dan
Sumur Jodoh di CempaE, Kelurahan Watang Soreang di Parepare. Entah sejak
kapan beredarnya dongeng ini, namun kisah ini bahkan telah merambah ke
situs website Dinas Kominfo Kota Parepare serta legendanya dituturkan
pada Lomba Cerita Rakyat pada ajang Festival Salo KarajaE V Tahun 2014
baru-baru ini.
Alkisah menurut kata pengarangnya :
“Lapatau Raja Bone, pelanjut perjuangan A. Tenri Tetta (Arung Palakka), melanjutkan perjalanannya ke daerah Mallusettasi. Dalam perjalanannya sempat menjumpai sebuah batu menyerupai seekor kuda sedang bertelungkup. Anehnya batu tersebut dapat bergerak dan berbunyi suara kuda dan berpindah tempat, membuat Lapatau (Raja Bone) sangat heran dan kaget sehingga raja Bone terpaksa tinggal di daerah itu dan memberi nama daerah itu Batu Kiki karena batu tesebut berbunyi kiki bagaikan suara kuda, kemudian diberi nama Bacukiki dan Lapatau membentuk suatu kerajaan….”
Sementara itu, uraian pada Lontara Akkarungeng Bone (Andi Amir Sessu,
1985 – Transkrip, Kandepdikbud Kabupaten Bone), Sejarah Bone (Abd.
Razak DP, dkk, 1986 – Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, Ujung Pandang
) dan Arung Palakka and Kahar Muzakkar (Andaya Leonard Y, 1977 – A
Study of The Hero Figur In Bugis Makassar Society, dalam People and
Society in Indonesia; A Biblegraphycal Aproach University) antara lain
ditemui fakta sebagai berikut :
La Patau Matanna Tikka WalinonoE La Tenribali MalaE Sangra Sultan Alimuddin Idris Arung Palakka Petta Ranreng Tuwa Wajo MatinroE ri Nagauleng Mangkau Bone XVI (1695-1714) atau yang lazim disebut saja sebagai “Matanna Tikka” (Sang Matahari) tidak pernah diberitakan selaku pembentuk/pendiri Kerajaan Bacukiki. Kerajaan Bacukiki telah berdiri jauh sebelum Kerajaan Bone sendiri yang didirikan oleh Puetta La MammatasilompoE ManurungngE ri Matajang dalam tahun 1330 (Rimba Alam, 2009;134). Kerajaan Bacukiki yang tertera pada peta Tome Pyres yakni seorang Portugis disebut sebagai “Machoquique” pada abad XV (lihat ; The Bugis, Dr. C.Pelras). Kemudian bahkan dalam Abad XIV Kerajaan Bacukiki ini adalah tempat diturunkannya seorang cikal bakal Raja-Raja Ajatappareng, yakni : La BangEnge’ ManurungngE ri Bacukiki (Addatuang Sawitto I). Maka bagaimana mungkin La Patau Raja Bone bisa dikatakan sebagai “pembentuk” Kerajaan Bacukiki yang sesungguhnya jauh “lebih tua” dari negeri asalnya ?.
Kisah yang dikarang oleh seorang “Budayawan Parepare” tersebut
semakin mengalir deras seakan tanpa beban dosa. Antara lain diuraikannya
sebagai berikut :
“Beberapa lama kemudian Lapatau tinggal di kerajaan Bacukiki, sempat mengawini seorang warga masyarakat disana. Tidak lama kemudian istrinya (permaisuri) melahirkan anak perempuan dan diberi nama Andi Tenri Uleng. Usia 16 tahun, A. Tenri Uleng berwajah sangat cantik, membuat panglima kerajaan/tobarani sangat terpesona dan mencintai Andi tenri Uleng. Begitu pula permaisuri juga sangat senang sama panglima karena wajah tampan dan sopan santun. Karena takdir Tuhan, musibah menimpa Andi Tenri Uleng. Ia diserang penyakit penyakit kusta, mengakibatkan masyarakat Bacukiki merasa khawatir dan gelisah terhadap penyakit A. Tenri Uleng yang dinilai dapat menyebar ke masyarakat.
Usaha para penghulu, adat tujuh dan masyarakat untuk mengobatinya
tetapi tak kunjung sembuh malah makin parah. Maka keputusan adat tujuh
menyingkirkan A. Tenri Uleng dari pusat Kerajaan Bacukiki atas usul raja
dan permaisuri. Dan disayembarakan bahwa barang siapa yang dapat
menyembuhkan A. Tenri Uleng, apabila laki-laki akan dikimpoikan, bila
perempuan akan dijadikan saudara….. “
Ikhwal perjalanan hidup seorang tokoh besar La Patau Matanna Tikka
sesungguhnya amat lengkap diuraikan pada banyak Lontara yang bertebar di
Sulawesi Selatan dan Barat. Hal yang disebabkan karena beliau adalah
nenek moyang hampir segenap bangsawan Se-Sulawesi Selatan dan Barat
serta merupakan tokoh sejarah yang rasional. Nama beliau merupakan
simpul kekerabatan yang memperhubungkan antar suku dan ras di Sulawesi
Selatan dan Barat. Maka beberapa Lontara besar yang menuliskan sejarah
hidupnya, antara lain : Lontara Akkarungeng Bone, Lontara Akkarungeng
Luwu, Lontara Panguruseng Soppeng, Lontara Sukkuna Wajo, Lontara
Akkarungeng Sidenreng hingga Lontara Balanipa. Namun dari sekian banyak
Lontara tersebut, tiada satupun yang menyebut jika beliau memiliki
seorang “Datu Makkunrai” di Bacukiki. Terlebih pula tidak ada yang
menyebutkan jika seorang puteri beliau telah bergelar “Andi”. Pasalnya,
gelar kebangsawanan tersebut nantilah dikenal dan digunakan
pertamakalinya dalam paruh kedua Abad XX. Bangsawan yang pertama
menggunakan gelar tersebut adalah : Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim Datu
Suppa Mangkau Bone XXXII Petta MatinroE ri Gowa (1931-1946).
Kemudian dongeng tersebut semakin seru ketika puteri La Patau
tiba-tiba terkena penyakit kulit (kusta). Kejadian “serupa” yang dialami
oleh We Tadampali, puteri La Busatana Datu MaonggE Datu/Pajung Luwu.
Maka plot cerita berlanjut hingga puteri tersebut harus diasingkan
keluar dari Kerajaannya. Walhasil A. Tenriuleng diasingkan ke CempaE di
Watang SorEang. Hingga menemukan jalan kesembuhan pada akhirnya, yakni
dijilat kerbau buleng (albino). Plot ini mestilah mengadaptasi atau
mengutip perihal We Tadampali Arung Masala Uli’E, seorang puteri Luwu
yang dihanyutkan karena mengidap penyakit kulit (kusta). Suatu kisah
yang diuraikan pada Lontara Wajo (H. Andi Makkaraka Paddanreng
BEttEmpola XXVII) yang juga tertulis pada Lontara Akkarungeng Luwu,
dimana kejadian luar biasa ini tidak dipandang sebagai dongeng belaka,
melainkan suatu peristiwa sakral yang sesungguhnya. Hal yang menguatkan
nilai sakralnya disebabkan We Tadampali pada akhirnya dipersunting oleh
La Malluluang Paddanreng BEttEmpola II, leluhur wangsa BEttEmpola di
Wajo sampai hari ini.
Namun kemudian yang paling fatal pada dongeng karangan ini adalah pada bagian akhirnya, sebagaimana dikutip berikut ini :
“Setelah wawancara Raja Bacukiki dan Hamad Patujuh, maka dijadwalkan waktu pelaksanaan pesta perkimpoian keduanya. Raja dan permaisuri menetapkan bahwa lokasi tempat pengobatan penyakit Andi Tenri Uleng diberi nama “Bujung Pattimpa Parakkuseng” artinya bujung adalah sumur, pattimpa adalah pembuka dan parakkuseng adalah jodoh. Karena berkat air sumur yang ada di laut yang dinikmati Andi Tenri Uleng, Raja Bacukiki, Lapatau, mengalokasikan di Soreang tempat penampungan pengobatan masyarakat yang terkena penyakit kulit dan diberi nama Rumah Sakit Kusta Lauleng”.
Apakah benar jika kampung “Lauleng” yang merupakan perbatasan paling
utara Kota Parepare kini telah merupakan area lokalisasi perawatan
penyakit kusta yang digagas oleh La Patau Raja Bone (Raja Bacukiki) ?.
Sejak kapankah kampung Lauleng menjadi Lokalisasi rehabilitasi Penyakit
Kusta ?. Lalu bagaimanakah sejarah “Sumur Jodoh” di CempaE yang
sesungguhnya ?.
Bersumber dari Ibu Hj. Sri Mulyati, S.Sos (Kasi Sarpras, Bid.
Olahraga, Dinas Olahraga, Pemuda dan Pariwisata Kota Parepare), bahwa
penyebutan “Sumur Jodoh” di CempaE sesungguhnya bermula dalam tahun
1960-an. Tersebutlah seorang awak perahu nelayan bernama La DallE’,
lelaki yang berasal dari Sidenreng yang rutin ke sumur tersebut untuk
mengambil air tawar. Setelah beberapa waktu mengambil air untuk
persediaan air tawar pada perahunya pada sumur tersebut, pada suatu hari
ia bertemu dengan seorang gadis bernama I Sitti, penduduk kampung
setempat. Hari demi hari mereka saling mengenal dengan baik sehingga
pada suatu hari, La DallE’ beserta keluarganya dari Sidenreng meminang I
Sitti kepada orang tuanya. Keduanya dinikahkan dan hidup berbahagia
dalam rumah tangganya. Sumur tempat mereka bertemu tersebut disebutnya
sebagai “sumur jodoh” mulai saat itu. Kisah inilah yang diketahui oleh
masyarakat CempaE dimana sumur air tawar yang terletak dipantai tersebut
berada. Adapun halnya dengan Ibu Hj. Sri Mulyati, S.Sos yang menuturkan
kisah ini, tak lain adalah kemenakan dari I Sitti tersebut.
Bahwa Kota Parepare adalah suatu daerah yang tidak banyak mitos dan
legenda yang dapat dikisahkan perihal nama-nama tempat di dalamnya,
walau memiliki beberapa tempat eksotis yang fenomenal sebagaimana halnya
dengan Sumur Jodoh di Kelurahan Watang SorEang. Namun itu bukan berarti
Kota Bandar ini miskin sejarah. Tokoh-tokoh besar sejarah yang pernah
tinggal menetap di Kota ini sebagaimana La Cincing Akil KaraEng MangEppE
Datu Pammana tentulah meninggalkan banyak kisah roman yang menarik
selama masa hidupnya yang kurang lebih 30 tahun bermukim di Parepare.
Beliau adalah Arung Malolo SidEnrEng (Putera Mahkota) merangkap selaku
Arung Matoa Wajo XLI (Raja Wajo) dan diberi gelar anumerta sebagai
“Petta MatinroE ri Cappa’galung” (Pertuanan Kita Yang Wafat di
Cappa’galung) adalah seorang tokoh elit Sulawesi Selatan pada zamannya.
Demikian pula dengan kedua kemenakannya yang tinggal sekian lama dan
wafat di Parepare, yakni : Ishaka Manggabarani KaraEng MangEppE Petta
MatinroE ri Parepare Arung Matoa Wajo XLIII dan La Sumange’rukka
Addatuang Sidenreng Petta MatinroE ri LumpuE. Kemudian lebih dari itu,
Kota yang indah ini meninggalkan jejak-jejak Pahlawan Bangsa yang
namanya terukir dengan tinta emas, antara lain : Andi Makkasau La Wawo
Datu Suppa’ Toa dan Andi Abdullah La Sumange’rukka Bau MassEpE Datu
Suppa’ Lolo.
Inilah kota yang sesungguhnya penuh dengan riwayat perjuangan dan
kebesaran nilai Pangadereng berbasis kearifan lokal yang sepantasnya
digali lalu dituturkan kepada generasi pelanjut. Bukannya dengan
mengarang suatu kisah yang berdasar “mappasicoco’-coco’” sehingga
menjadi buah tertawaan para peneliti dan pemerhati sejarah di media
social facebook. Maka dengan ini, besar harapan penulis semoga kiranya
ini menjadi hikmah untuk menggugah dukungan Pemerintah Kota Parepare
untuk segera menggagas pembentukan tim terpadu dalam rangka penggalian
dan penerbitan buku sejarah tentang Parepare.
Wallahualam Bissawwab
Source : http://sempugi.org/perihal-legenda-karangan-kerajaan-bacukiki/
thn 1997 sy yg tergabung dlm 50 peserta pertukaran pemuda antar propinsi asal jakarta pernah ditempatkan selama 3 bln d sulsel. setelah ditempatkan di makasar dan bulukumba utk selanjutnya kami ditempatkn di lumpue kota parepare utk waktu satu bln. saat disana itu kami sempat dibawa oleh dinas p&k ke lokasi sumur jodoh....kenangan manisku bersama seseorg
BalasHapus