Adat Bugis (baca ; Wari Pangadereng Maraja) mengamanatkan untuk
memuliakan tamu sebagaimana mestinya. Perihal ritual adat penyambutan
Raja Kerabat sesama turunan TopapoataE Batara Guru dan Puetta MatinroE
ri Naga Uleng sesungguhnya memiliki kaidahnya masing-masing. Demikian
pula jika menyambut Raja Sahabat dari Luar Sulawesi ataupun diluar
keturunan kedua tokoh yang disebut terdahulu, sesungguhnya memiliki pula
tatanan dan aturannya tersendiri yang tak kalah makna pemuliaannya.
Karena sesungguhnya hanya “orang mulialah” yang dapat memuliakan
sesamanya mahluk dengan sebaik-baiknya.

Ade’ Maraja mengatur pula tentang
hubungan bilateral antar kerajaan Se-Tana Sempugi dan Kerajaan dari luar
pulau Sulawesi dengan azas yang sama, yakni : Siri na PessE. Bahwa
“siri tana” ketika dimaknai sebagai “martabat negeri”, maka secara tegas
dipersyaratkan kedaulatan adat suatu kerajaan senantiasa dibatasi oleh
garis-garis yang pantang kepada siapapun untuk melanggarnya. Antara lain
diuraikan disini, sebagai berikut :
- Payung Kerajaan (Teddung Lompo) suatu Kerajaan tidak boleh terbuka (dikembangkan) atau berdiri tegak dalam wilayah Kerajaan lain, kecuali itu adalah dalam wilayah “lilina” (taklukannya),
- Bendera atau panji (samparaja) suatu kerajaan tidak boleh berdiri atau berkibar dalam suatu wilayah kerajaan lain, kecuali itu adalah dalam wilayah “lilina” (taklukannya),
- Pengawal Raja yang berkunjung ke kerajaan lainnya tidak boleh menghunus senjata yang bahkan tidak diperkenankan menyentuh gagang senjatanya, kecuali itu adalah dalam wilayah “lilina” (taklukannya),
- Seorang Raja/Ratu pantang melantik seorang raja/ratu negeri lainnya, bahkan sekalipun itu terhadap “lilina” (taklukannya),
Lontara Attoriolong Sidenreng
menguraikan, bahwa pada pasca Perang Makassar dalam paruh ketiga abad –
17, tatkala Puetta MalampE’E Gemme’na dan pasukan aliansinya dalam
rangka ekspedisi penaklukan Arung Ajatappareng (La Todani Arung Bakke’),
beliau beserta pasukannya melewati daerah Parepare (Galung La Maloang).
Maka dengan santunnya, Sang Penguasa Tana Ugi ini mengirim utusan untuk
menemui Arung Soreang. Lewat utusan itu dimohonkan izin kiranya
diperkenankan untuk menancapkan bendera Pusaka Bone SamparajaE sejenak
dalam wilayah itu untuk beristirahat. Padahal sesungguhnya, Arung
Palakka Petta MalampE’E Gemme’na kala itu adalah Sang Adikuasa Sulawesi
Selatan. Namun “Ade’ Sipakatau, Sipakaraja , Sipalebbi na SipakaEnrE’”
(adab saling tenggag rasa, saling menghormati, saling memuliakan dan
saling meninggikan) ditempatkannya diatas segalanya.
Sejarah Arung Palakka yang fenomenal itu
mencatatkan bagaimana Raja Bugis ini sedemikian gigih menegakkan
“pessE” (solidaritas) bagi kemuliaan “Ade’ Tana Maraja” Sulawesi
Selatan. Beliau mengepung markas pusat Gubernur Hindia Belanda di
Benteng Rotterdam, disebabkan “ketersinggungannya” karena Gubernur
Boggart berlaku lancang “mencampuri” urusan Kerajaan-Kerajaan di
Sulawesi Selatan. Diantara kelancangannya yakni dengan “menobatkan” atau
“menegur” raja-raja lokal. Puetta Arung Palakka naik pitam seraya
berseru : “Taniapa olomu lao mallanti’ arung ri Tana SElEbEsE !” (bukan
kewenanganmu untuk melantik Raja di Tanah Sulawesi !). Beliau mengirim
ultimatum ke pusat VoC di Batavia agar Gubernur Boggart dimutasi.
Demikian pula jika ada Raja yang ditegur atau dimarahi oleh Belanda,
Arung Palakka berseru : “Jangan kamu yang menegur kerabatku, masih ada
aku !”. Seakan beliau berkata : Tau Laingmo iko ! (kau Cuma orang luar
!)
Beberapa puluh tahun sebelumnya yakni
dalam tahun 1644, Somba Gowa Sultan Malikussaid memaklumkan perang
terhadap Kerajaan Bone. Maka terjadilah perang besar yang melibatkan
kerajaan-kerajaan besar di Sulawesi Selatan. Pada akhirnya, Puetta La
Maddaremmeng ArumponE terdesak dan berhasil ditawan di Sanrangan.
Terjadilah kekosongan pemerintahan pada Kerajaan Bugis terbesar itu.
Hingga kemudian, Ade’ PituE Tana Bone (7 Dewan Adat Kerajaan Bone)
menghadap Raja Gowa seraya meminta beliau untuk dinobatkan sebagai Raja
Bone. Seketika itu Raja Penakluk ini menolak dengan tegas serta
mengingatkan kembali “Ade’ Maraja” segenap Raja-Raja Sulawesi Selatan
sejak dahulu kala, yakni : “Tessiala mana, tessiala bicara, pada
ripoade’ ade’ta, pada ripubicara bicaratta” (kita tidak saling merebut
warisan, tidak saling mengambil hukum, beradatkan adat masing-masing,
berhukum-kan hokum masing-masing). Selanjutnya beliau mencoba menawarkan
kepada mangkubuminya, yaitu : KaraEng Patinggaloan, namun petinggi Gowa
yang terkenal cendekia ini menolak pula. “Silahkan kalian sendiri wahai
Hadat Bone menentukan Raja kalian sendiri..”, serunya.
Berselang lebih 1 abad sejak wafatnya
Puetta MalampE’E Gemme’na, Kerajaan Tanete tatkala pasca wafatnya Sang
Ratu Tanete We Tenri LElEang juga diperhadapkan dengan peristiwa yang
sama. Pada suatu ketika Pasukan Raja Bone sedang dalam ekspedisi
menaklukkan Barru dengan melewati wilayah Tanete. Mereka tidak memohon
izin untuk mengibarkan SamparajaE dalam wilayah Kerajaan Kecil itu, maka
terjadilah perang anatara Bone dan Tanete. Kerajaan Tanete yang
walaupun menyadari kekuatannya yang tiada apa-apanya dibandingkan Bone,
namun tetap jua melawan dengan berani demi penegakan hak “Ade’ Tana”
(martabat negeri).
Walhasil pada masa kini, alur sejarah
“Ade’ Tana Maraja” bagi Tana Ugi dan Tana Mangkasa kiranya mesti
terpuruk jauh dari poros “Ade’ Puraonrona” (Adat Permanennya). Bermula
dari niat baik YM. Perdana Menteri Kerajaan Lampung untuk menghidupkan
kembali adat istiadat di Sulawesi Selatan ini. Tatkala beliau dengan
niat luhurnya aktif mengunjungi wilayah Kedatuan dan lembaga adat di
seluruh Sulawesi Selatan, maka para bangsawan-bangsawan Bugis dan
Makassar ramai mengiringi beliau. Mereka yang menjadi pengiring itu
mengklaim diri sebagai “raja/sultan” dari negerinya masing-masing atas
legitimasi Sultan Lampung. Payung Emas Kebesaran Kerajaan Lampung
berkembang megah di halaman Balla’ Lompoa. Sementara mereka yang
menyatakan diri sebagai Raja-Raja Bugis dan Makassar sedemikian setia
mengiringi dengan takzimnya. Kain putih “welle’” lambang kesucian para
Manurung di Sulawesi Selatan hendak digelar untuk menjadi “titian”
dibawah kaki beliau YM. Perdana Menteri Lampung di Tana Soppeng esok
hari (Sabtu, 23/5/2015). Demikian khabar yang saya terima dari penghuni
Saoraja MallanroE di Soppeng tadi pagi. Wahai, semangat Arung Palakka
dan Sultan Malikussaid telah musnah. “Ade’ agamani riwarekkeng ?” (Adat
apa lagi yang dipegang kini ?).
Ini salah siapa ?. Bukan salah
siapa-siapa, melainkan kesalahan kita sendiri yang enggan bersatu dengan
sejenak meletakkan ego diri masing-masing. Lupa terhadap etos
“padaidi’” dan “paraikattE”. Bangga mengenakan busana adat namun
sesungguhnya kita enggan menggali dan memaknai adat yang sesungguhnya / *La Oddang
Wallahualam Bissawwab.
Source : http://sempugi.org/ade-tana-yang-tergerus/
0 komentar:
Posting Komentar
=================================
- Berkomentarlah Yang Sopan
- Tidak Diperkenankan Memasukan Link Aktif Pada Isi Komentar
- Berkomentarlah Sesuai Dengan Content
=================================
Terima Kasih atas Kunjungan Anda.... ^_^